Seorang teman pernah berkata seperti ini, “Susahlah..safety riding itu untuk diri sendiri, gak bisa dipaksakan”.
Teman lain pernah ngedumel ini saat berdesak-desakan antri TransJakarta, “Mau kita antri setertib apapun juga, kalau yang lain masih serabutan, kita pasti akan diinjek-injek“.
Satu lagi nih, “Ih mau marah rasanya, kenapa sih SATPAM di gedung ini centil-centil? Bete!” omel seorang rekan kantor yang segera disambut anggukan oleh saya.
Dan memang, ketiga kenyataan itu saya alami sehari-hari. Kadang di kala mood lagi bagus, saya hanya bisa menghela napas dan membiarkan oknum melenggang kangkung. Kalau mood tidak bagus? Dapat dipastikan sentakan keluar dari mulut. Febri berulang kali bilang buat apa emosi atas hal-hal sepele seperti itu. I know he has a good point there but I can’t help it.
On safety riding: sudah berapa banyak sih kecelakaan yang terjadi karena kelalaian salah satu pihak? Dan tidak sedikit pula kan korban yang terluka parah atau bahkan meninggal dunia datang dari pihak yang tidak bersalah. Hikmahnya si pengendara ugal-ugalan mendapatkan ‘sentilan’ dari Yang Di Atas atas kelakuannya, untuk si korban dan keluarganya? Nasib? Hhh. Uh, ga paham deh, padahal ya sepanjang pengertian saya, pengendara motor itu kebanyakan membeli motornya dengan cara mencicil, artinya ada ‘perjuangan’ untuk mendapatkannya kan? Tapi kenapa nyetirnya seperti motor yang nganggur di rumahnya ada 12 ya?
On queing: Memang sudah terbukti, sebagian besar warga Jakarta tidak bisa diatur. Bahkan, ketika petugas di shelter Ragunan sudah bersusah payah membiasakan penumpang antri dengan membuat 3 antrian (duduk, berdiri/terburu-buru dan ibu hamil/bawa anak/manula), masih banyak calon penumpang yang seenaknya sendiri. Tiba-tiba menyelak antrian duduk atau menyelinap saat ibu-ibu hamil berbaris teratur masuk ke bus. Biasanya petugas sigap menegur tapi kadang mereka hanya bisa pasrah karena memang tenaga di lapangan kurang sekali. Selain orang yang dorong-dorong, saya kesal dengan tipe penumpang perempuan yang seringkali menyelak barisan atau memaksa masuk bus yang sudah penuh sembari bergumam, “Cuma satu kok…cuma satu..pasti bisa”. Hhh.
On ‘flirty’ men: Saya pernah melihat poster beberapa tahun lalu isinya kalimat ini, “Bagaimana angka kejahatan tidak semakin tinggi kalau rok Anda juga semakin tinggi” (or something like that). Saya tahu bahwa memakai pakaian yang ‘menantang’ bagi wanita memiliki risiko tersendiri. Bagaimana dengan wanita-wanita lain yang berpakaian biasa-biasa saja tapi tetap diisengin? “Pagiii, Mbak” sering diucapkan oleh Satpam di gedung ini kepada karyawati. Memang terlihat seperti tidak ada yang salah karena letak centil ada di nada. Kadang (sebagian) pria ‘bersembunyi’ di balik alasan, “Kami sopan kok, menyapa tidak ada salahnya kan?” Haha ternyata, tidak hanya saya yang merasa kelakuan mereka (Satpam gedung ini) nyebelin. Hhh.
Hihihi cukup ngedumel, saya harus segera kembali meladeni kejaran deadline.